Showing posts with label Sepakbola. Show all posts
Showing posts with label Sepakbola. Show all posts

Tuesday, February 28, 2017

Adios, Claudio Ranieri.

Claudio Ranieri adalah sosok yang memberikan warna paling luar biasa di pinggir lapangan musim lalu. Dengan gairah menggebu-gebu yang ia miliki, selalu rendah hati setiap kali Leicester City sukses menang, dan juga sifatnya yang layaknya seorang Ayah bagi para pemain-pemain medioker milik The Foxes.

Klub ini adalah klub pesakitan yang di musim sebelumnya nyaris degradasi. Ranieri datang, dengan banyak cercaan dari berbagai pihak karena baru saja gagal di antah berantah, dan seperti pesulap ia berhasil mengubah tim ini menjadi salah satu sensasi terbaik yang pernah ada di sepakbola Inggris. Dan bahkan Dunia.

Leicester melaju kencang, menikmati perjalanan layaknya cerita-cerita dongeng Disney, dan mendapatkan akhir yang amat sangat bahagia: Juara Liga Inggris musim 2015/16. Dan kemungkinan besar akan menjadi juara yang akan terus dibicarakan sampai entah berapa dekade ke depan. Tangan Ranieri jelas berperan amat sangat besar di sini. Dan senyuman teduhnya menjadi ciri khas manis yang selalu ada setiap kali Leicester bertanding.

Tidak sampai satu tahun kemudian, Claudio Ranieri dipecat. Dan Leicester pun kehilangan, atau lebih tepatnya menghilangkan, sosok yang begitu berjasa dalam menuliskan nama mereka dalam buku sejarah sepakbola.

Kondisi Leicester memang menyedihkan di musim ini. Sang juara bertahan terdampar di pertarungan menghindari degradasi. Kombinasi ajaib Riyad Mahrez dan Jamie Vardy lenyap begitu saja tanpa ada sisa. Sepanjang tahun 2017 ini, jangankan menang di Liga, menciptakan gol saja tim ini sama sekali tidak mampu.

Di sisi lain, perjalanan Leicester di Liga Champions masih memiliki aroma kejutan musim lalu. Mereka sukses menjadi juara grup, dan hanya kalah 1-2 di kandang Sevilla pada laga leg pertama babak 16 besar. Tentunya, masih ada peluang keajaiban muncul di turnamen ini. Apalagi jika Ranieri bisa entah bagaimana menemukan cara yang sukses ia keluarkan musim lalu.

Tapi manajemen Leicester ternyata sama saja dengan banyak klub lainnya. Mereka tidak memiliki rasa sabar. Dan memutuskan untuk membuang Claudio Ranieri –yang sempat menyebut dirinya ingin sampai pensiun di klub ini- begitu saja. Tanpa menunggu akhir musim. Seolah lupa dengan apa yang ia berikan musim lalu.

Jika tidak ada peningkatan luar biasa musim lalu, pencapaian Leicester musim ini bisa dibilang sesuatu yang normal. Tim ini memang terbiasa bertarung di zona degradasi. Jadi, kasarnya, musim ini mereka kembali ke tempat mereka yang seharusnya. Namun karena pihak manajemen sudah mencicipi bagaimana nikmatnya anggur perayaan juara, fakta ini sepertinya mereka abaikan begitu saja.

Terdengar menyedihkan? Tentu saja. Tapi inilah sepakbola modern saat ini. Loyalitas hanya menjadi sebuah kata, tanpa ada arti yang sesungguhnya terlihat.

Siapa yang bisa meragukan jasa Ranieri untuk Leicester? Dengan apa yang sudah ia berikan, orang tua ini layak mendapatkan segala kemudahan dan fasilitas apapun yang ia inginkan di klub ini. Bahkan jika ia meminta sesuatu, haram rasanya jika tidak diwujudkan oleh siapapun yang berhubungan dengan Leicester. Tapi hanya karena beberapa bulan yang buruk, dan segalanya berubah.

Seandainya prinsip semacam ini sudah berjalan dari masa silam, sepertinya kita tidak akan pernah menemukan seorang manajer terbaik dunia bernama Sir Alex Ferguson. Atau bahkan Arsene Wenger sekalipun –yang jika menggunakan prinsip ini, sepertinya sudah tidak ada di Arsenal semenjak setidaknya enam musim yang lalu.

Mungkin saja, setelah pergantian manajer ini, Leicester akan membaik. Mungkin mereka akan mendapatkan beberapa kemenangan lagi dan jadi aman dari zona degradasi. Mungkin mereka bisa melaju sedikit lebih jauh di Liga Champions. Mungkin para pemiliki akan tersenyum di akhir musim karena merasa keputusan mereka tepat.

Tapi tetap saja, mereka sudah dipastikan kehilangan sosok Claudio Ranieri. Yang bahkan jika diberikan waktu lebih lama, bukan tidak mungkin masih bisa membalikkan keadaan. Ini masih bulan Februari dan masih begitu banyak hal yang bisa terjadi. Sedihnya, kita tidak akan bisa menyaksikan ini lagi.

Hari ini, banyak hati yang patah saat Ranieri diumumkan dibuang dari Leicester. Menganggap tim ini berbeda dari tim lain, dengan kekeluargaan mereka, dengan kekompakan mereka di dalam dan di luar lapangan, ternyata hanya anggapan kosong belaka. Musim lalu seolah hanyalah sebuah ilusi yang diciptakan seorang pesulap hebat. Atau hanya sekedar skenario film Hollywood. Fiksi belaka. Ternyata mereka sama saja dengan klub-klub medioker tanpa rasa sabar yang terus berkutat di kubangan bawah Liga Premier.

Jujur saja, ini sepertinya memang menjadi alasan sesungguhnya mengapa tim-tim semacam ini tidak layak mendapatkan hal yang bagus dalam kehidupan mereka. Mereka dimabukkan dengan rasanya, dan melupakan tempat mereka yang sebenarnya.

Skenario terbaik untuk Ranieri saat ini adalah (meski tentu saja dia tidak ingin ini terjadi, he’sa  freakin’ Mr. Nice Guy) Leicester semakin terpuruk dan akhirnya mimpi terburuk mereka terwujud: terlempar ke divisi Championship –hanya selang dua musim dari perjalanan penuh mimpi mereka di kasta tertinggi Inggris dan semusim dari perjalanan mereka di kasta tertinggi Eropa.

Jika memang ini yang terjadi, maka kita semua akan bisa melihat bahwa bahkan di dunia sepakbola modern pun, karma itu tetap ada dan bisa menimpa siapapun.


Adios, Claudio. Terima kasih untuk satu musim yang luar biasa!

Sunday, March 24, 2013

GBK. Again.


Buat gw, Gelora Bung Karno adalah salah satu tempat paling magis yang ada di dunia ini. Nyaris gak pernah sekalipun gw masuk ke stadion ini tanpa merasa merinding (Even pas nonton konser ogah-ogahan YellowCard dulu pun tetap ada rasa merinding saat masuk dan melihat isi stadion megah ini).

Jadi, saat Indonesia akan menjamu Arab Saudi di lanjutan Kualifikasi Piala Asia hari Sabtu, 23 Maret 2013, gw pun amat sangat berharap bisa datang dan kembali berteriak-teriak di salah satu dari puluhan ribu kursi keramat di dalamnya.

Dengan keberuntungan dan kebaikan teman, I got that freakin ticket. Gak murah. Untuk level kualifikasi, angka 200,000 untuk kategori 1 jelas lumayan tinggi. I don’t really care tho. Yang penting bisa masuk dan nonton timnas main. Udah kangen. Terakhir kali adalah pas away days AFF 2012 di Malaysia bulan Desember lalu.

Beda dengan pas away days, kali ini atmosfir GBK luar biasa. Dari (katanya) 70ribu tiket yang disediakan, sepertinya nyaris semuanya terjual. Stadion Gelora Bung Karno pun kembali penuh. Padat di luar. Padat di dalam. Padahal, hujan deras datang menghampiri beberapa jam sebelum kick off.

Dengan kondisi basah kuyub dan salah kelas duduk -We ended up sitting in Category 2 (100,000), while our tickets are Category 1-  gw dan teman-teman siap untuk kembali sakit hati untuk ke sekian kalinya.

Tapi setipis apapun itu, harapan tetaplah harapan. Jadi… Kami pun berharap akan ada sesuatu bernama keajaiban (Jangan ditiru. Setipis apapun harapan, it still… hurts).

Setelah kembali merinding menikmati nyanyian choir ‘Indonesia Raya’ puluhan ribu orang yang dilanjutkan dengan flare menyala dari berbagai sudut stadion, pertandingan dimulai.

Sesuai dugaan, Arab Saudi langsung menguasai serangan. Namun di awal-awal pertandingan, tanda-tanda keajaiban itu muncul. Saat Arab lupa kalau Indonesia ternyata punya kemampuan menyerang, defender mereka melakukan kesalahan fatal dan Boaz pun membawa timnas Indonesia unggul. GBK bergetar. Literally.

Merayakan gol bersama puluhan ribu orang adalah suatu hal yang luar biasa. It felt amazing. Di tengah euforia semacam ini, kami nyaris lupa kalau gol tadi bisa jadi hanyalah harapan palsu belaka. Seperti yang terus diberikan oleh tim ini selama bertahun-tahun.

Benar saja. Timnas kemudian tampil medioker. Padahal, katanya, ini adalah tim terbaik yang bisa dikumpulkan saat ini. Tidak seperti tim yang turun di AFF ataupun pra-piala dunia kemarin.

Tidak ada yang istimewa. Lini tengah timnas seperti lupa datang ke GBK. Kerja keras lini belakang dan upaya lari-lompat para pemain depan terasa sia-sia. Passing buruk, tidak ada penguasaan bola yang meyakinkan, dan Ponaryo Astaman seolah tertelan bumi.

Arab Saudi menemukan ritme mereka dan membunuh Indonesia dengan dua gol balasan. Could, and should, be more.  Sementara upaya timnas untuk menyerang (bahkan saat memainkan empat striker), terlihat lebih seperti usaha membuang-buang bola. Sia-sia.

Sebuah keajaiban lain adalah bisa melihat Ponaryo tampil hingga beberapa menit menjelang injury time. (WHY OH WHY). I personally miss Taufik. Tapi kehadiran Bustomi sebenarnya juga bisa menjadi pilihan yang lebih oke jika diturunkan lebih awal.

Lalu, kecepatan Andik yang bisa berguna di menit-menit akhir pun tidak dimanfaatkan. The-So-Called-Indonesian-Messi pun duduk di bench hingga peluit akhir dibunyikan.

Ah. Peluit akhir.

Gw bukan orang yang percaya dengan label kalah terhormat. Kalah adalah kalah. Period. Tapi ada saat di mana kita menerima kekalahan dengan merasa tersentuh dengan perjuangan super keras para pemain di lapangan. Itu yang gw rasakan dulu saat menyaksikan anak-anak asuh Nil Maizar bermain di AFF. They’re shite. But they fight superbly.

Last night. I don’t know. Mungkin karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Mungkin karena kesal ngeliat beberapa potensi pemain tidak sempat keluar secara maksimal. Mungkin karena gw rindu dengan kemenangan di GBK. Yang pasti, saat untuk kesekian kalinya melangkah lunglai keluar GBK, I felt… weird.

Padahal, sejak awal, I know we’re gonna lose from Arab Saudi and I know my heart gonna be broken again for the-I’ve-lost-count times.

 “Hari ini Pasti Menang”, my ass. I believe we need a new chant.

Lalu… Apakah gw akan kembali lagi untuk nonton Timnas Indonesia main di GBK atau bahkan away?

Of course. I’m in love. And will always be. So, I have every right to be irrational and idiotic.