Tuesday, February 28, 2017

Adios, Claudio Ranieri.

Claudio Ranieri adalah sosok yang memberikan warna paling luar biasa di pinggir lapangan musim lalu. Dengan gairah menggebu-gebu yang ia miliki, selalu rendah hati setiap kali Leicester City sukses menang, dan juga sifatnya yang layaknya seorang Ayah bagi para pemain-pemain medioker milik The Foxes.

Klub ini adalah klub pesakitan yang di musim sebelumnya nyaris degradasi. Ranieri datang, dengan banyak cercaan dari berbagai pihak karena baru saja gagal di antah berantah, dan seperti pesulap ia berhasil mengubah tim ini menjadi salah satu sensasi terbaik yang pernah ada di sepakbola Inggris. Dan bahkan Dunia.

Leicester melaju kencang, menikmati perjalanan layaknya cerita-cerita dongeng Disney, dan mendapatkan akhir yang amat sangat bahagia: Juara Liga Inggris musim 2015/16. Dan kemungkinan besar akan menjadi juara yang akan terus dibicarakan sampai entah berapa dekade ke depan. Tangan Ranieri jelas berperan amat sangat besar di sini. Dan senyuman teduhnya menjadi ciri khas manis yang selalu ada setiap kali Leicester bertanding.

Tidak sampai satu tahun kemudian, Claudio Ranieri dipecat. Dan Leicester pun kehilangan, atau lebih tepatnya menghilangkan, sosok yang begitu berjasa dalam menuliskan nama mereka dalam buku sejarah sepakbola.

Kondisi Leicester memang menyedihkan di musim ini. Sang juara bertahan terdampar di pertarungan menghindari degradasi. Kombinasi ajaib Riyad Mahrez dan Jamie Vardy lenyap begitu saja tanpa ada sisa. Sepanjang tahun 2017 ini, jangankan menang di Liga, menciptakan gol saja tim ini sama sekali tidak mampu.

Di sisi lain, perjalanan Leicester di Liga Champions masih memiliki aroma kejutan musim lalu. Mereka sukses menjadi juara grup, dan hanya kalah 1-2 di kandang Sevilla pada laga leg pertama babak 16 besar. Tentunya, masih ada peluang keajaiban muncul di turnamen ini. Apalagi jika Ranieri bisa entah bagaimana menemukan cara yang sukses ia keluarkan musim lalu.

Tapi manajemen Leicester ternyata sama saja dengan banyak klub lainnya. Mereka tidak memiliki rasa sabar. Dan memutuskan untuk membuang Claudio Ranieri –yang sempat menyebut dirinya ingin sampai pensiun di klub ini- begitu saja. Tanpa menunggu akhir musim. Seolah lupa dengan apa yang ia berikan musim lalu.

Jika tidak ada peningkatan luar biasa musim lalu, pencapaian Leicester musim ini bisa dibilang sesuatu yang normal. Tim ini memang terbiasa bertarung di zona degradasi. Jadi, kasarnya, musim ini mereka kembali ke tempat mereka yang seharusnya. Namun karena pihak manajemen sudah mencicipi bagaimana nikmatnya anggur perayaan juara, fakta ini sepertinya mereka abaikan begitu saja.

Terdengar menyedihkan? Tentu saja. Tapi inilah sepakbola modern saat ini. Loyalitas hanya menjadi sebuah kata, tanpa ada arti yang sesungguhnya terlihat.

Siapa yang bisa meragukan jasa Ranieri untuk Leicester? Dengan apa yang sudah ia berikan, orang tua ini layak mendapatkan segala kemudahan dan fasilitas apapun yang ia inginkan di klub ini. Bahkan jika ia meminta sesuatu, haram rasanya jika tidak diwujudkan oleh siapapun yang berhubungan dengan Leicester. Tapi hanya karena beberapa bulan yang buruk, dan segalanya berubah.

Seandainya prinsip semacam ini sudah berjalan dari masa silam, sepertinya kita tidak akan pernah menemukan seorang manajer terbaik dunia bernama Sir Alex Ferguson. Atau bahkan Arsene Wenger sekalipun –yang jika menggunakan prinsip ini, sepertinya sudah tidak ada di Arsenal semenjak setidaknya enam musim yang lalu.

Mungkin saja, setelah pergantian manajer ini, Leicester akan membaik. Mungkin mereka akan mendapatkan beberapa kemenangan lagi dan jadi aman dari zona degradasi. Mungkin mereka bisa melaju sedikit lebih jauh di Liga Champions. Mungkin para pemiliki akan tersenyum di akhir musim karena merasa keputusan mereka tepat.

Tapi tetap saja, mereka sudah dipastikan kehilangan sosok Claudio Ranieri. Yang bahkan jika diberikan waktu lebih lama, bukan tidak mungkin masih bisa membalikkan keadaan. Ini masih bulan Februari dan masih begitu banyak hal yang bisa terjadi. Sedihnya, kita tidak akan bisa menyaksikan ini lagi.

Hari ini, banyak hati yang patah saat Ranieri diumumkan dibuang dari Leicester. Menganggap tim ini berbeda dari tim lain, dengan kekeluargaan mereka, dengan kekompakan mereka di dalam dan di luar lapangan, ternyata hanya anggapan kosong belaka. Musim lalu seolah hanyalah sebuah ilusi yang diciptakan seorang pesulap hebat. Atau hanya sekedar skenario film Hollywood. Fiksi belaka. Ternyata mereka sama saja dengan klub-klub medioker tanpa rasa sabar yang terus berkutat di kubangan bawah Liga Premier.

Jujur saja, ini sepertinya memang menjadi alasan sesungguhnya mengapa tim-tim semacam ini tidak layak mendapatkan hal yang bagus dalam kehidupan mereka. Mereka dimabukkan dengan rasanya, dan melupakan tempat mereka yang sebenarnya.

Skenario terbaik untuk Ranieri saat ini adalah (meski tentu saja dia tidak ingin ini terjadi, he’sa  freakin’ Mr. Nice Guy) Leicester semakin terpuruk dan akhirnya mimpi terburuk mereka terwujud: terlempar ke divisi Championship –hanya selang dua musim dari perjalanan penuh mimpi mereka di kasta tertinggi Inggris dan semusim dari perjalanan mereka di kasta tertinggi Eropa.

Jika memang ini yang terjadi, maka kita semua akan bisa melihat bahwa bahkan di dunia sepakbola modern pun, karma itu tetap ada dan bisa menimpa siapapun.


Adios, Claudio. Terima kasih untuk satu musim yang luar biasa!

Tuesday, January 10, 2017

"Here's to the fools who dreams...": A La La Land Review.

La La Land bukan film pertama saya di 2017. Setelah absen nonton bioskop di semingguan terakhir 2016, minggu perdana tahun ini sudah dihajar tiga film. The Girl on The Train, Arrival, dan, akhirnya, La La Land. TGoTT terbanting jauh dari novelnya, Arrival, seperti juga film-film Denis Villeneuve lainnya, sangat brilian. Sutradara ini bisa bikin film soal klepon dan kue cubit, and i’d spend my money watching it.

Tapi the one that hit me the most adalah... La La Land.

I heard so many good things about this movie. Review-nya penuh sinar menyilaukan, album soundtrack-nya pun sangat menyenangkan. Bahkan sebelum nonton filmnya, i love the music already. Tapi dengan ekspektasi yang begitu tingginya saat masuk ke dalam ruang bioskop, La La Land tetap sukses melampaui segalanya. Bahkan mengancam posisi Before Trilogy dalam list film favorit saya. Damien Chazelle is one genius bastard. And he’s freakin’ 31.

Dari opening scene yang penuh warna dan penuh optimisme, La La Land bergerak dengan cepat dan menyenangkan. Dengan musik yang benar-benar brilian dan chemistry yang susah banget buat dibantah dari Ryan Gosling dan Emma Stone, film ini jelas akan menyentuh hopeless romantic di manapun dan juga kaum-kaum pemimpi masih berkeliaran di setiap sudut Dunia.

Lalu kemudian La La Land semakin mengacak-acak segalanya dengan rollercoaster perasaan yang mengaduk-aduk siapapun yang hatinya belum beku. Bahkan yang hatinya sudah beku –Anies misalnya- mungkin akan tetap bisa menghangat sedikit abis nonton ini. Cuma ya paling tidak hancur lebur saja.

We laugh. We sing. We cry. We love this movie. We hate this move. We can’t deny that this one is brilliant.

“Tapi kan musikal bukan untuk semua orang!”

Well. Satu argumen saya untuk seorang teman yang masih penuh keraguan mau nonton film ini karena tidak terbiasa menyukai musikal, “Kalau lo suka film bagus, lo kemungkinan besar akan menyukai La La Land.”

Familiar dengan argumen-nya? Iya. Itu diacak-acak dikit dari review sarkastik nan snobbish BBC Indonesia soal Assassin’s Creed. Let’s leave it at that ya. We’re not here to talk about that piece of shite yang menyiakan-nyiakan Marion Cotillard kesayangan.

Pas nulis ini, saya sambil (masih) mendengarkan sountrack-nya La La Land. The Whole Album. Plus scoring-nya juga. Didengerin ganti-gantian, dengan perasaan yang campur aduk. Ini udah kejadian dari setelah nonton midnight hari Minggu dini hari kemarin.

Efek film ini ke saya lumayan ngaco sih. Setelah pulang nonton, kepikiran dan tidak bisa tidur. Mencoba mengulangi scene-scene indah yang kadang membuat tersenyum, tapi juga patah hati di waktu lainnya. Saya akhirnya bisa tertidur setelah putaran ke sekian album ini menyala dari Spotify saya. Pagi harinya, efeknya belum luntur juga. Setengah hari dihabiskan hanya menempel di kasur sambil mengulang album soundtrack dan scoring La La Land. Sudah cukup lama tidak ada film yang bisa memberikan efek sekencang ini untuk saya. Belum lagi berbagai tweet yang saya post pasca menonton. Inti dari paragraf panjang ini sih saya hanya mau bilang kalau film ini luar biasa bagus. Seriously.

Semua orang pada dasarnya adalah pemimpi. Apakah mimpinya akan terwujud atau tidak, adalah cerita yang sama sekali berbeda. Tapi bermimpi sendiri adalah sebuah keistimewaan yang rasanya sayang untuk disia-siakan siapapun. We dreams, therefore we exist. At least, i believe that. Dan film ini membuat saya semakin percaya soal itu. Akan selalu ada halangan yang muncul, dan tentu saja tidak semuanya bisa terwujud, bahkan mungkin ada yang tidak terwujud satupun. Tapi mimpi tetaplah mimpi. Sebuah dasar menyenangkan dari apapun yang akan kita lakukan.

La La Land makes me remember why i fell in love with movies. The magic on it. The dreams it offered us. The mess it created. The heartbreak it gave us.

Really. I can not not love movies.


Thanks La La Land, for this brilliant reminder. 

Monday, November 28, 2016

The JKT48 Experience: Part 2.

2016 is a LOT of things. Bad things, mostly. With David Bowie, Prince, Alan Rickman, Brexit, Trump, and all that. Tapi di tahun ini juga, saya akhirnya benar-benar 'terjerumus' ke satu fandom baru (baru, for me), JKT48.

Apa hubungannya bad things di atas dengan terjerumusnya saya di fandom ini? Gak ada. Cuma karena ini blog saya dan yang baca post terakhir cuma 23 orang, jadi yasudah anggap saja di sini Universe berpusat pada Muhajjir Esyaputra.

Anyway. Balik ke JKT48.

Jelas sebelum tahun 2016, saya tahu sudah tahu apa ini. I have friends yang openly-wota. Dan i have huge interests on everything Japanese, jadi ya... tahu.

Segalanya berawal di bulan Maret tahun ini, and i wrote about it here. Saat-saat di mana my wota-virginity berakhir sudah dan oh boy, this black hole punya kemampuan menyedot diri saya dengan cepat dan ganas.

Maret sudah lewat lama dan setelah taste perdana itu, saya pun semakin bersentuhan dengan dunia ini. Pelan-pelan tentu saja. Awalnya sebulan sekali ke Teater. Terus dilanjutkan dengan pengecualian jika ada event (Grad, Birthday, something like that). And i always got the tickets. Mau nyoba last minute juga dapat. I even try the 2 shot thing. Pick an oshi. And have fun doing it.

Lalu, kenapa tulisan ini baru muncul sekarang?

Karena last week, i was getting into something more than just casual-teater-ing. I went to the grand total of 3 shows within a week, actually hangout with some wota, doing another two shot, missing the tickets, talk (nervously) to my own oshi at the lift, trying the waiting list thing, getting the waiting list, and missing the waiting list thing.

So yeah. One WHOLE week of JKT48 Experience.

Awalnya adalah hari Minggu yang lalu. Event khusus Grad-nya Ghaida. Saya bahkan gak sadar-sadar banget apply, tapi ya dapat aja. I came and enjoyed it so much. Setlist-nya menyenangkan sekali. Pilihan lagunya oke, drama-nya pun ada tapi gak berlebihan. It was really nice.

Next: Shenshuraaku (Spell-nya gini gak sih?) Week.

Untuk pembaca non-wota, artinya ini adalah semacam minggu perpisahan dan nostalgia karena tim-tim ini akan dipecah dan diganti mulai tanggal 1 Desember nanti. (Pas banget saya mulai hapal nama-nama anggota tim KIII, timnya diganti. Typical.). Jadi setiap hari ada show, dan banyak yang setlist lama. Momen nostalgia untuk banyak orang.

Satu-satunya show yang paling ingin saya tonton adalah SBGN. Setlist-nya tim KIII sekarang yang bakal gak ada lagi setelah hari Minggu kemarin. Dan tentu saja, saya gak dapat tiket untuk show ini. My luck is THAT brilliant.

Show lain yang saya apply adalah Boku no Taiyou, alias Matahari Milikku, ini setlist lama KIII yang ada di Apple Music. Jadi, saya somehow familiar dengan lagunya. I got the tickets. And enjoyed the show. Lagu-lagunya menyenangkan sekali. Dan di show ini juga untuk pertama kalinya, saya nonton sama satu geng wota-penuh-pengalaman.

Setelah nonton show ini, i do another two-shot. Sekarang sama Yona. Yatuhananakinikenapacakepamatsih. Dan with that, now i have (another) oshi. So, I have two now. Moga-moga gak nambah lagi.

Kurang-kurangin lah, Cha.

Skor sementara sekarang. Hubungan delusional 2 : Hubungan sebenarnya 0.

After the show, i actually hungout and talked with those wota-group yang tadi nonton bareng. Jadi selama ini saya, seperti sebagian besar kegiatan dalam hidup, lebih suka single-fighter alias datang sendiri. Tapi ini jadi pengalaman yang berbeda. Ketemu, kenalan, dan ngobrol. Mencoba mencari sisi-sisi menarik dari para wota ini. Ada yang bahkan udah spend 4 tahun lebih di fandom ini. Senior.

Dari mereka, saya menangkap beberapa wota-lingo. Bala misalnya. Ini istilah buat bad luck. Terutama untuk masalah bingo dan warna tiket. Dua hal yang sebelumnya saya gak pernah peduli, ternyata means so much for a lot of people. Terus ada juga cerita-cerita siapa yang ribut sama siapa, taruhan-taruhan kecil buat keep thing interesting, dan masih banyak cerita lain.

Oh iya. Sempat nanya satu hal juga sama salah satu dari mereka pas di dalam teater, "Buat banyak orang di sini, nonton teater itu feels-nya kayak nge-date ya?" Jawaban, "Enggak banyak kok.... Paling ya... 80% dari yang datang.". Me: "...baiklah."

And boy they do a LOT of stuff for this. Termasuk nongkrong sampai pagi di Fx demi bisa ngeliat sang idola turun mau pulang abis latihan. Sambil mungkin, dengan sedikit keberanian ekstra, menyapa dan bahkan ngasi kado-kado kecil. Pertanyaan saya sederhana, "Emang mereka bakal jawab kalo disapa?". Jawabannya, "Ada yang jawab. Ada yang dicuekin. Semua bisa kejadian. Tapi ya balik lagi, tergantung muka sih kalo di luar. Kalo di dalam kan wajib ramah tuh."

O... kay. That's depressing. In a way.

Besoknya, saya balik lagi ke Fx. Dan karena universe sedang baik hati, saya diberi kesempatan untuk mencoba kondisi ini.

Secara kebetulan, di Fx sepanjang weekend kemarin sedang ada Japanese Film Festival. Me, being kangen sama festival film apapun, let alone Japanese, menyambut ini dengan amat sangat gembira. Perfect timing, i guess.

Jadi di Jumat malam itu, dengan hati riang gembira karena Indonesia lolos ke semifinal, i went back to Fx buat nonton satu film di JFF. Film-nya jam 21.45. Sebelum nonton, saya ke Foodhall dulu untuk beli Yoghurt (kenapa Yoghurt? Lagi sok sehat aja.) Dan pas lagi milih-milih Yoghurt (man, the options: peach, strawberry, orange, honey. SO HARD), tiba-tiba ada yang mukanya familiar datang. Took me a few seconds, dan ternyata beneran Saktia (Note: Ini Oshi #1, waktu itu sempet 2-shot sama anak gak waras tapi sangat menyenangkan ini). Pake kacamata -my freakin' kryptonite.

Yaudah saya coba menyapa sambil lewat dan diapun membalas dengan senyum courtesy. Okay. Good enough. Berarti gak dicuekin.

After that, pas ngantri bayar ternyata dia di antrian yang sama, cuma di depan saya ada satu orang wota yang dengan semangat ngajak dia ngobrol -i can really sense the awkwardness, but you go, Girl!- dan bahkan go as far as nawarin bayarin belanjaan-nya Saktia. (Ini gak confirm bener apa enggak sih, i'm just assuming dari belakang.)

When i thought the encounter was done, ternyata saya ketemu lagi di... Lift. Iseng nyoba ngobrol dan ternyata bisa! These idols are actually a human being yang bisa diajak ngobrol tanpa harus datang ke event pake tiket atau kupon yang harus ditukar! It's a point proven!

Weekend berlanjut dengan more JKT experience for me. Hari Sabtu iseng nurutin kata Saktia dan one of my wota-friends buat nyobain Waiting List. Wasn't that hard dan dapat aja gitu. I ended up skipping one of my movie di JFF dan ikut nostalgia sama setlist KIII yang disukai banyak orang: Seishuun Girls. So that's 3 shows in less than a week. Holy Sh...

Tapi tetap aja. Show yang paling saya pengen nonton adalah show terakhir SBGN. Setlist-nya KIII yang ini my short-wota-time udah ditonton beberapa kali and i totally fell in love with it. I lost the verification-thingy, remember? Jadi ya harus nyobain waiting list lagi.

Di hari Minggu, sambil pararel JFF-an, iseng nyoba WL lagi. Dan... Gagal. My luck's out. I have to say goodbye ke SBGN -without actually seeing the last show. A bit sad. Apalagi sebenarnya udah mulai sayang sama tim ini -yang diacak acak lagi mulai this week.

Damn. This writing is scattered.

So anyway. That was my week getting deeper into this fandom. Jelas, masih banyak sisi-sisi menarik lain yang belum ke-explore. I'm still curious with the whole handshake-things. The direct selling. The concerts. Dan berbagai event lainnya. I think that will be another story for another time.

Until then, Selamat Datang Setlist Baru JKT. Please be good.


Tuesday, October 18, 2016

Things Happened, And I Wrote About It.

It's been some time since i really really like someone.

Emphasize on the words 'really really'. I like her so much i should write it twice.

This is the kind of like that escalated to the point that i'd stay awake as long as i can just to talk with her, and also when i finally asleep, she still annoyed me on my dreams. And i'm fine with that.

Even the universe sometimes did little things that makes me, a serendipity-believer, mumbling 'What The F' in disbelief -and with a little smile, of course.

Weird, eh? Definitely not something you'd usually get from someone that you know for about just a little more than 2 weeks.

This doesn't make any sense. At all. But then again, what is make sense nowadays?

So.

There's a happy ending in this lovey-dovey-cheesy-as-hell story, rite?

No. Nope. No way.

It came unexpectedly, and, obviously, it ended as soon as it came too.

I guess it's true what people says, that good things usually doesn't last.

It's good because it's short.
It's enjoyable because it's ended.
It's brilliant because it's, well, brilliant.

And what was the point of this writing again? None, I suppose.

Well played, Universe.

Let's move on to your next game now. (I think) I'm ready.

Sunday, August 28, 2016

One Paragraph Review!

Sekitar 2 minggu ini, i've been in and out cinemas for a few times. Dan nonton lumayan banyak film, here's my one-paragraph-review for each of them.

3 Dara (versi 1956):
Menyenangkan, lucu, dan somehow masih sangat relevan. Walaupun udah 60 tahun, film ini masih bisa banget menghibur. Jenius-jenius yang ada di belakang nya visioner sih. Sayang banget kalo missed film ini pas tayang di Bioskop. Nostalgia terbaik tahun ini? Most probably.

The Shallows:
Salah satu thriller paling keren sepanjang 2016 so far. Ceritanya jelas sederhana, tapi tegang nya dapet banget. Way more thrilling dari banyak horror-thriller yang ada. Dan for the Love of God, Sharks are Scary.

Alice Through The Looking Glass:
Review nya busuk sih film ini, tapi buat gw tetep terasa seperti sebuah acid trip yang aneh, tapi menyenangkan. Terlalu banyak hal absurd yang terjadi di film ini buat dibilang jelek. Dan dedicating satu scene khusus buat time-pun really wins my heart.

Lights Out:
Ide film ini sederhana dan menarik. Mungkin itu kenapa works really well pas jadi short film. Untuk versi panjang, semuanya jadi a bit too much. Jump scare-nya keseringan dan terlalu ketebak. Cerita nya juga kurang bisa ngasi thrill yang cukup buat bikin makin tegang. Sadly, a so-so horror movie.

The Nice Guys:
FILM GELO. Lucunya parah. Jokes-jokes absurd dan slapstick nya sukses bikin nepuk-nepuk kursi bioskop sambil ketawa. Sensor dan teks Indonesia nya a bit sucks sih, tapi gak terlalu mengurangi film super menyenangkan ini. Salah satu yang paling fun for this year dan bisa ditonton berkali-kali.

Final Fantasy XV: Kingsglaive
Animasi nya cantik banget ya Tuhan. Ceritanya juga seru dan gak seaneh adaptasi-adaptasi video game gagal lain. At times berasa lagi main game di layar yang gede banget. asik sih ini film.

Our Kind of Traitor:
Untuk orang yang dua kali ketiduran dalam dua kali usaha nonton Tinker Tailor Soldier Spy, gw amat sangat menikmati film ini. Kept me on the edge of my seat the whole time. Akting-nya keren-keren dan chemistry semuanya dapet. Political thriller yang mungkin gak top-notch, tapi tetap oke banget.

Sadako vs Kayako:
WHAT IN THE HELL IS THIS?? Horornya gak serem, tegangnya juga ya hampir gak ada. Bener-bener usaha nyari uang orang-orang Jepang pake dua franchise gak bisa mati ini. Untung ada dek Tina Tamashiro.

The Secret Life of Pets:
This is like Finding Nemo... On Drugs. XD Satu lagi animasi super menyenangkan nan absurd dari Dreamworks. Karakter binatang-binatang nya adorable, tapi screwed up in a lot of ways. Lebih banyak jokes yang lebih bisa dinikmati orang gede daripada anak-anak. Please oh please, do not miss this.

Mechanic: Resurrection 
Oh dear Lord, Jason Statham. Hampir semua film dia ya kayak gini. Standar. Dengan cerita yang kayaknya dibuat dengan males-malesan. It's basically, Statham vs Bad Guys around the world, and spoiler alert: he wins. Don't get me started on Jessica Alba's character on this movie. Huh.

Detective Conan: The Darkest Nightmare:
Whatever happened to the good old murder case on Conan ya? Sekarang jadi lebih berasa nonton film espionase ala James Bond dengan level ridiculous-ness ala Anime Jepang. Still a fun ride, apalagi dengan karakter-karakter yang udah akrab dari puluhan tahun silam, tapi ya... Kurang aja.

Holidays (Netflix):
This is fucked up, People. Kompilasi cerita-cerita horor/thriller based on, well, Holidays. Dari Natal sampa Father's Day ada. Dan tentu saja semuanya terasa surreal, absurd, and bloody great. Masih di bawah Southbound untuk urusan anthology horror di tahun ini, tapi tetap worth a watch.

Sunday, August 21, 2016

(The Idea of) Falling In Love

I miss falling in love.
Or at the very least, i miss the idea of falling in love.

The head over heels feeling.
The willing-to-do-any-stupid-thing stuff.
The endless conversation about all the random thing in the world.

I miss that.

It has not been that long since i'm in a relationship, to be fair.

But, since the last few months of my last relationship is more like avoiding-the-third-world-war rather than falling in love, so yes, it felt sooo long.

My life's so much fun at the moment. Nothing to complained about.

Still. It would be nice to fall in love with someone else soon.

So come out.
Come out.
Whereever you are.

Saturday, March 12, 2016

The JKT48 Experience

Trying something new is always fun. Gw selalu penasaran dengan apa yang ada di dalam satu tempat di Fx bernama Teater JKT48. So, since i finally got a chance to do it, i took it. And i took it pretty well.

Meski gak terlalu asing dengan dunia per-idol-an (i've listened and watch AKB for years now and also have a little unhealthy obsession for this anime called Love Live), ini pertama kalinya gw mencoba nonton langsung. I know nothing about this. Gw literally harus google apa itu bingo dan sempat beberapa kali whatsapp nanya-nanya temen yang vvota original. 

I don't even know what team i'm gonna watch sampe abang-abang yang di tempat tiket bilang, "Oh. Tim J ya hari ini." Which is fortunate, jadi at least gw familiar sama beberapa nama nya. To top it off, pas masuk nyaris aja salah duduk. Can’t be anymore rookie than that.

So. The show.

Of course they lypsinc-ed. Tapi nonton langsung JKT48 dengan alasan mau denger mereka nyanyi sama aja bullshit-nya dengan bilang beli majalah Popular karena artikel interview-nya insighful. This is all about visual experience. (They do have a few cute songs, tho. I fell for Dewi Teater). And it was... Good.

These girls worked hard. The dance routine, the costume changing, bahkan at some point ada yang ngangkat2 kursi ke panggung pake kostum super ribet (Kayaknya Vanka deh. Kalo bener, fix jadi Oshi.). I can't imagine how boring and tiring it is for them.

Lalu ada momen-momen menyenangkan, tapi sometimes cringing pas mereka mencoba berinteraksi dan, well, telling jokes. (contoh sederhana: tebak-tebakan Ve: “Binatang apa yang paling kecil? Jawabannya cacing ya, bukan kutu. Kenapa? Karena kutu bisa cacingan!”), But, to be honest, i really really enjoyed that. Rather than the singing. (I'm a sucker for cute girls talking, sue me.)

I got kind of a full package today. Ini adalah show ke 300 buat Melody, jadi ada sekelompok fans Melody yang sudah menyiapkan banyak balon-balon hati, dan bahkan stiker untuk merayakan milestone sang idola (Walaupun Nabilah sempet komentar, “Kayaknya gw udah lama deh show ke 300-nya.”). 

Lalu di show ini juga ada satu MVP, seorang bapak-bapak Jepang yang oshi-nya Irene (Irlen?). Ternyata, MVP adalah saat seseorang sudah 100 kali nonton teater. (Way to go, Oyaji!). Tapi mulut cewek-cewek ini emang bener-bener deh ya, pas lagi basa-basi ngasi merchandise dan ngucapin terima kasih, ada yang nyeletuk, “Wah. Kayak Bapak-nya ya!”. Kelakuan.

Apparently, there’s soooo many encore songs. Setelah mereka pamit sekali, ada jeda yang lumayan lama. Jika di konser normal, encore biasanya 2-3 lagu, ini kayaknya lebih dari enam. Kalo menurut mereka sih, beberapa itungan-nya lagu bonus buat yang udah datang ke Teater. Jadi di luar set-list normal.

Setelah segalanya selesai, ada sesi tos-tosan ternyata. Semua yang datang dibolehkan high-five sambil cengengesan sama semua member yang baru tampil. Bayangkan, udah berapa ribu kali mereka melakukan ini dan sudah dengan berapa ribu orang? I kind of admire these girls a little bit more after today.

Overall. Ada momen-momen off, tentu saja. Hell, setengah dari post ini ditulis pas mereka lagi nyanyi-nyanyi di panggung. Tapi dengan energi dan antusiasme yang dikeluarkan dari semua member, i can clearly understand the appeal. Gak heran ada begitu banyak orang yang literally jatuh cinta dengan tim ini.

Sebelumnya, gw sering membandingkan para Vvota dengan fans sepakbola. Well. More or less sih. Yang jelas, kondisi di dalam tidak seganas dan sebau yang gw perkirakan sebelumnya. Sangat civilised malah. Cuma ada beberapa celetukan yang lumayan ganggu aja sih paling. But i guess it’s normal. Exactly kayak ABG mau narik perhatian gebetannya.

Will i go back there?

Well. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Dan sepertinya tidak mungkin akan jadi penganut setia yang datang sekali seminggu sampai bisa jadi MVP. Tapi jika suatu saat nanti bosan dan tidak ada kerjaan, this could be one of the option. And most probably, i will make sure dulu ada Beby atau Ayana di show-nya.

Terima Kasih Sudah Membaca Tulisan Ini Ya! (Dibaca dengan nada member JKT)