La La Land bukan film pertama
saya di 2017. Setelah absen nonton bioskop di semingguan terakhir 2016, minggu
perdana tahun ini sudah dihajar tiga film. The Girl on The Train, Arrival, dan,
akhirnya, La La Land. TGoTT terbanting jauh dari novelnya, Arrival, seperti
juga film-film Denis Villeneuve lainnya, sangat brilian. Sutradara ini bisa
bikin film soal klepon dan kue cubit, and i’d spend my money watching it.
Tapi the one that hit me the most
adalah... La La Land.
I heard so many good things about
this movie. Review-nya penuh sinar menyilaukan, album soundtrack-nya pun sangat
menyenangkan. Bahkan sebelum nonton filmnya, i love the music already. Tapi
dengan ekspektasi yang begitu tingginya saat masuk ke dalam ruang bioskop, La
La Land tetap sukses melampaui segalanya. Bahkan mengancam posisi Before
Trilogy dalam list film favorit saya. Damien Chazelle is one genius bastard.
And he’s freakin’ 31.
Dari opening scene yang penuh
warna dan penuh optimisme, La La Land bergerak dengan cepat dan menyenangkan.
Dengan musik yang benar-benar brilian dan chemistry yang susah banget buat
dibantah dari Ryan Gosling dan Emma Stone, film ini jelas akan menyentuh
hopeless romantic di manapun dan juga kaum-kaum pemimpi masih berkeliaran di
setiap sudut Dunia.
Lalu kemudian La La Land semakin
mengacak-acak segalanya dengan rollercoaster perasaan yang mengaduk-aduk
siapapun yang hatinya belum beku. Bahkan yang hatinya sudah beku –Anies misalnya- mungkin akan
tetap bisa menghangat sedikit abis nonton ini. Cuma ya paling tidak hancur
lebur saja.
We laugh. We sing. We cry. We
love this movie. We hate this move. We can’t deny that this one is brilliant.
“Tapi kan musikal bukan untuk
semua orang!”
Well. Satu argumen saya untuk
seorang teman yang masih penuh keraguan mau nonton film ini karena tidak
terbiasa menyukai musikal, “Kalau lo suka film bagus, lo kemungkinan besar akan
menyukai La La Land.”
Familiar dengan argumen-nya? Iya.
Itu diacak-acak dikit dari review sarkastik nan snobbish BBC Indonesia soal
Assassin’s Creed. Let’s leave it at that ya. We’re not here to talk about that
piece of shite yang menyiakan-nyiakan Marion Cotillard kesayangan.
Pas nulis ini, saya sambil
(masih) mendengarkan sountrack-nya La La Land. The Whole Album. Plus
scoring-nya juga. Didengerin ganti-gantian, dengan perasaan yang campur aduk. Ini udah kejadian dari setelah
nonton midnight hari Minggu dini hari kemarin.
Efek film ini ke saya lumayan
ngaco sih. Setelah pulang nonton, kepikiran dan tidak bisa tidur. Mencoba
mengulangi scene-scene indah yang kadang membuat tersenyum, tapi juga patah
hati di waktu lainnya. Saya akhirnya bisa tertidur setelah putaran ke sekian
album ini menyala dari Spotify saya. Pagi harinya, efeknya belum luntur juga.
Setengah hari dihabiskan hanya menempel di kasur sambil mengulang album
soundtrack dan scoring La La Land. Sudah cukup lama tidak ada film yang bisa
memberikan efek sekencang ini untuk saya. Belum lagi berbagai tweet yang saya
post pasca menonton. Inti dari paragraf panjang ini sih saya hanya mau bilang
kalau film ini luar biasa bagus. Seriously.
Semua orang pada dasarnya adalah
pemimpi. Apakah mimpinya akan terwujud atau tidak, adalah cerita yang sama
sekali berbeda. Tapi bermimpi sendiri adalah sebuah keistimewaan yang rasanya
sayang untuk disia-siakan siapapun. We dreams, therefore we exist. At least, i
believe that. Dan film ini membuat saya semakin percaya soal itu. Akan selalu
ada halangan yang muncul, dan tentu saja tidak semuanya bisa terwujud, bahkan
mungkin ada yang tidak terwujud satupun. Tapi mimpi tetaplah mimpi. Sebuah
dasar menyenangkan dari apapun yang akan kita lakukan.
La La Land makes me remember why
i fell in love with movies. The magic on it. The dreams it offered us. The mess it created. The heartbreak it gave us.
Really. I can not not love
movies.
Thanks La La Land, for this
brilliant reminder.