Claudio Ranieri adalah sosok yang
memberikan warna paling luar biasa di pinggir lapangan musim lalu. Dengan
gairah menggebu-gebu yang ia miliki, selalu rendah hati setiap kali Leicester
City sukses menang, dan juga sifatnya yang layaknya seorang Ayah bagi para
pemain-pemain medioker milik The Foxes.
Klub ini adalah klub pesakitan
yang di musim sebelumnya nyaris degradasi. Ranieri datang, dengan banyak
cercaan dari berbagai pihak karena baru saja gagal di antah berantah, dan
seperti pesulap ia berhasil mengubah tim ini menjadi salah satu sensasi terbaik
yang pernah ada di sepakbola Inggris. Dan bahkan Dunia.
Leicester melaju kencang,
menikmati perjalanan layaknya cerita-cerita dongeng Disney, dan mendapatkan
akhir yang amat sangat bahagia: Juara Liga Inggris musim 2015/16. Dan
kemungkinan besar akan menjadi juara yang akan terus dibicarakan sampai entah
berapa dekade ke depan. Tangan Ranieri jelas berperan amat sangat besar di
sini. Dan senyuman teduhnya menjadi ciri khas manis yang selalu ada setiap kali
Leicester bertanding.
Tidak sampai satu tahun kemudian,
Claudio Ranieri dipecat. Dan Leicester pun kehilangan, atau lebih tepatnya
menghilangkan, sosok yang begitu berjasa dalam menuliskan nama mereka dalam
buku sejarah sepakbola.
Kondisi Leicester memang
menyedihkan di musim ini. Sang juara bertahan terdampar di pertarungan
menghindari degradasi. Kombinasi ajaib Riyad Mahrez dan Jamie Vardy lenyap
begitu saja tanpa ada sisa. Sepanjang tahun 2017 ini, jangankan menang di Liga,
menciptakan gol saja tim ini sama sekali tidak mampu.
Di sisi lain, perjalanan
Leicester di Liga Champions masih memiliki aroma kejutan musim lalu. Mereka
sukses menjadi juara grup, dan hanya kalah 1-2 di kandang Sevilla pada laga leg
pertama babak 16 besar. Tentunya, masih ada peluang keajaiban muncul di
turnamen ini. Apalagi jika Ranieri bisa entah bagaimana menemukan cara yang
sukses ia keluarkan musim lalu.
Tapi manajemen Leicester ternyata
sama saja dengan banyak klub lainnya. Mereka tidak memiliki rasa sabar. Dan
memutuskan untuk membuang Claudio Ranieri –yang sempat menyebut dirinya ingin
sampai pensiun di klub ini- begitu saja. Tanpa menunggu akhir musim. Seolah
lupa dengan apa yang ia berikan musim lalu.
Jika tidak ada peningkatan luar
biasa musim lalu, pencapaian Leicester musim ini bisa dibilang sesuatu yang
normal. Tim ini memang terbiasa bertarung di zona degradasi. Jadi, kasarnya,
musim ini mereka kembali ke tempat mereka yang seharusnya. Namun karena pihak
manajemen sudah mencicipi bagaimana nikmatnya anggur perayaan juara, fakta ini
sepertinya mereka abaikan begitu saja.
Terdengar menyedihkan? Tentu
saja. Tapi inilah sepakbola modern saat ini. Loyalitas hanya menjadi sebuah
kata, tanpa ada arti yang sesungguhnya terlihat.
Siapa yang bisa meragukan jasa
Ranieri untuk Leicester? Dengan apa yang sudah ia berikan, orang tua ini layak
mendapatkan segala kemudahan dan fasilitas apapun yang ia inginkan di klub ini.
Bahkan jika ia meminta sesuatu, haram rasanya jika tidak diwujudkan oleh
siapapun yang berhubungan dengan Leicester. Tapi hanya karena beberapa bulan
yang buruk, dan segalanya berubah.
Seandainya prinsip semacam ini
sudah berjalan dari masa silam, sepertinya kita tidak akan pernah menemukan
seorang manajer terbaik dunia bernama Sir Alex Ferguson. Atau bahkan Arsene
Wenger sekalipun –yang jika menggunakan prinsip ini, sepertinya sudah tidak ada
di Arsenal semenjak setidaknya enam musim yang lalu.
Mungkin saja, setelah pergantian
manajer ini, Leicester akan membaik. Mungkin mereka akan mendapatkan beberapa
kemenangan lagi dan jadi aman dari zona degradasi. Mungkin mereka bisa melaju
sedikit lebih jauh di Liga Champions. Mungkin para pemiliki akan tersenyum di
akhir musim karena merasa keputusan mereka tepat.
Tapi tetap saja, mereka sudah
dipastikan kehilangan sosok Claudio Ranieri. Yang bahkan jika diberikan waktu
lebih lama, bukan tidak mungkin masih bisa membalikkan keadaan. Ini masih bulan
Februari dan masih begitu banyak hal yang bisa terjadi. Sedihnya, kita tidak akan
bisa menyaksikan ini lagi.
Hari ini, banyak hati yang patah
saat Ranieri diumumkan dibuang dari Leicester. Menganggap tim ini berbeda dari
tim lain, dengan kekeluargaan mereka, dengan kekompakan mereka di dalam dan di
luar lapangan, ternyata hanya anggapan kosong belaka. Musim lalu seolah
hanyalah sebuah ilusi yang diciptakan seorang pesulap hebat. Atau hanya sekedar
skenario film Hollywood. Fiksi belaka. Ternyata mereka sama saja dengan
klub-klub medioker tanpa rasa sabar yang terus berkutat di kubangan bawah Liga
Premier.
Jujur saja, ini sepertinya memang
menjadi alasan sesungguhnya mengapa tim-tim semacam ini tidak layak mendapatkan
hal yang bagus dalam kehidupan mereka. Mereka dimabukkan dengan rasanya, dan
melupakan tempat mereka yang sebenarnya.
Skenario terbaik untuk Ranieri
saat ini adalah (meski tentu saja dia tidak ingin ini terjadi, he’sa freakin’ Mr. Nice Guy) Leicester semakin
terpuruk dan akhirnya mimpi terburuk mereka terwujud: terlempar ke divisi
Championship –hanya selang dua musim dari perjalanan penuh mimpi mereka di
kasta tertinggi Inggris dan semusim dari perjalanan mereka di kasta tertinggi
Eropa.
Jika memang ini yang terjadi,
maka kita semua akan bisa melihat bahwa bahkan di dunia sepakbola modern pun,
karma itu tetap ada dan bisa menimpa siapapun.
Adios, Claudio. Terima kasih untuk satu musim yang luar biasa!