Tuesday, January 10, 2017

"Here's to the fools who dreams...": A La La Land Review.

La La Land bukan film pertama saya di 2017. Setelah absen nonton bioskop di semingguan terakhir 2016, minggu perdana tahun ini sudah dihajar tiga film. The Girl on The Train, Arrival, dan, akhirnya, La La Land. TGoTT terbanting jauh dari novelnya, Arrival, seperti juga film-film Denis Villeneuve lainnya, sangat brilian. Sutradara ini bisa bikin film soal klepon dan kue cubit, and i’d spend my money watching it.

Tapi the one that hit me the most adalah... La La Land.

I heard so many good things about this movie. Review-nya penuh sinar menyilaukan, album soundtrack-nya pun sangat menyenangkan. Bahkan sebelum nonton filmnya, i love the music already. Tapi dengan ekspektasi yang begitu tingginya saat masuk ke dalam ruang bioskop, La La Land tetap sukses melampaui segalanya. Bahkan mengancam posisi Before Trilogy dalam list film favorit saya. Damien Chazelle is one genius bastard. And he’s freakin’ 31.

Dari opening scene yang penuh warna dan penuh optimisme, La La Land bergerak dengan cepat dan menyenangkan. Dengan musik yang benar-benar brilian dan chemistry yang susah banget buat dibantah dari Ryan Gosling dan Emma Stone, film ini jelas akan menyentuh hopeless romantic di manapun dan juga kaum-kaum pemimpi masih berkeliaran di setiap sudut Dunia.

Lalu kemudian La La Land semakin mengacak-acak segalanya dengan rollercoaster perasaan yang mengaduk-aduk siapapun yang hatinya belum beku. Bahkan yang hatinya sudah beku –Anies misalnya- mungkin akan tetap bisa menghangat sedikit abis nonton ini. Cuma ya paling tidak hancur lebur saja.

We laugh. We sing. We cry. We love this movie. We hate this move. We can’t deny that this one is brilliant.

“Tapi kan musikal bukan untuk semua orang!”

Well. Satu argumen saya untuk seorang teman yang masih penuh keraguan mau nonton film ini karena tidak terbiasa menyukai musikal, “Kalau lo suka film bagus, lo kemungkinan besar akan menyukai La La Land.”

Familiar dengan argumen-nya? Iya. Itu diacak-acak dikit dari review sarkastik nan snobbish BBC Indonesia soal Assassin’s Creed. Let’s leave it at that ya. We’re not here to talk about that piece of shite yang menyiakan-nyiakan Marion Cotillard kesayangan.

Pas nulis ini, saya sambil (masih) mendengarkan sountrack-nya La La Land. The Whole Album. Plus scoring-nya juga. Didengerin ganti-gantian, dengan perasaan yang campur aduk. Ini udah kejadian dari setelah nonton midnight hari Minggu dini hari kemarin.

Efek film ini ke saya lumayan ngaco sih. Setelah pulang nonton, kepikiran dan tidak bisa tidur. Mencoba mengulangi scene-scene indah yang kadang membuat tersenyum, tapi juga patah hati di waktu lainnya. Saya akhirnya bisa tertidur setelah putaran ke sekian album ini menyala dari Spotify saya. Pagi harinya, efeknya belum luntur juga. Setengah hari dihabiskan hanya menempel di kasur sambil mengulang album soundtrack dan scoring La La Land. Sudah cukup lama tidak ada film yang bisa memberikan efek sekencang ini untuk saya. Belum lagi berbagai tweet yang saya post pasca menonton. Inti dari paragraf panjang ini sih saya hanya mau bilang kalau film ini luar biasa bagus. Seriously.

Semua orang pada dasarnya adalah pemimpi. Apakah mimpinya akan terwujud atau tidak, adalah cerita yang sama sekali berbeda. Tapi bermimpi sendiri adalah sebuah keistimewaan yang rasanya sayang untuk disia-siakan siapapun. We dreams, therefore we exist. At least, i believe that. Dan film ini membuat saya semakin percaya soal itu. Akan selalu ada halangan yang muncul, dan tentu saja tidak semuanya bisa terwujud, bahkan mungkin ada yang tidak terwujud satupun. Tapi mimpi tetaplah mimpi. Sebuah dasar menyenangkan dari apapun yang akan kita lakukan.

La La Land makes me remember why i fell in love with movies. The magic on it. The dreams it offered us. The mess it created. The heartbreak it gave us.

Really. I can not not love movies.


Thanks La La Land, for this brilliant reminder.